Search

Páginas

Warga Tak Mampu Rentan Penyalahgunaan Hukum

Kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan warga tak mampu menguak kelemahan mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Dalam banyak kasus yang melibatkan mereka, sistem peradilan pidana yang selama ini mendasari penyelesaian kasus pelanggaran hukum ternyata belum bisa memenuhi rasa keadilan.
Demikian kesimpulan seminar Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) “Membangun Politik Penegakan Hukum yang Mengakomodasi Keadilan Warga Tak Mampu”, Senin (1/2), di Gedung Nusantara V Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan—Jakarta. Diharapkan, acara melahirkan pemikiran yang sekaligus solusi krisis penegakan hukum bagi warga tak mampu yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Seminar menghadirkan pembicara utama Ketua Komite I DPD Farouk Muhammad. Pembicara lainnya adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Markas Besar (Mabes) Polri Inspektur Jenderal (Irjen) (Pol) Ito Sumardi Djunisanyoto, pakar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip) yang juga Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Benny Kabur Harman, hakim agung Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Patrialis Akbar. Acara dibuka Ketua DPD Irman Gusman.
Irman menegaskan pandangannya mengenai kelemahan mekanisme penegakan hukum di Indonesia tersebut. Mengakomodasi keadilan bagi warga tak mampu, diperlukan aturan hukum yang khusus memihak kepada warga tak mampu yang terlibat perkara. “Perbaikan hukum ditunjang legal formal yang berpihak pada warga tak mampu,” katanya.
Ditambahkannya, persoalan hukum sebaiknya tidak dipandang semata-mata terkait bidang hukum itu sendiri tapi juga bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Artinya, reformasi penegakan hukum harus berorientas kepada pembangunan di semua bidang. “Aturan yang dibuat di tingkat pusat dan daerah mestinya jangan hanya memberi perlindungan dan akses bagi para pelaku kelas kakap, melainkan juga mengakomodasi kepentingan warga tak mampu,” jelas Irman.
Dalam konteks reformasi sistem penegakan hukum, Farouk mendesak adanya fleksibilitas dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum, khususnya yang melibatkan warga tak mampu. Khusus bagi mereka, aparat penegak hukum tidak boleh bersandar hanya kepada sistem peradilan pidana sebagai mekanisme penyelesaian kasus hukum. Sebaliknya, aparat penegak hukum juga mempertimbangkan mekanisme penyelesaian perkara di luar sidang peradilan.
Aparat penegak hukum harus berani melakukan terobosan dalam kasus warga tak mampu. Mengacu kepada hasil penelitian Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian (PPITK), banyak kasus hukum pidana ringan yang berhasil diselesaikan secara informal.
Karenanya, Farouk menyarankan aparat penegak hukum mempertimbangkan mekanisme penyelesaian informal sebagai model dalam kasus hukum ringan yang melibatkan warga tak mampu. Apalagi, mekanisme penyelesaian informal lama dipraktikkan sebagai tradisi masyarakat di Indonesia.
Apalagi, penegakan hukum cenderung “pukul rata”. “Tanpa melihat berat-ringannya kejahatan, besar-kecilnya kerugian,” ujarnya. “Kecenderungan kita (penegak hukum) adalah bagaimana menjebloskan orang sebanyak-banyaknya ke penjara tanpa memerhatikan rasa keadilan.”
Ia mencontohkan. Masih hangat dalam ingatan kita sejumlah kasus ringan yang dilakukan warga tak mampu, tapi berujung vonis penjara, seperti kasus Nenek Minah dan Kholil yang heboh beberapa waktu lalu. Ternyata, warga tidak mampu cenderung lebih banyak terkena tindakan hukum karena kebodohannya.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara dalam penegakan hukum. Namun, bagaimana hukuman yang tepat bagi warga tak mampu yang melakukannya karena ketidakmampuan mereka?
Farouk mengusulkan model penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan untuk perkara-perkara ringan yang melibatkan warga tak mampu. Pasalnya, warga tak mampu seringkali melakukannya justru karena kebodohan mereka sendiri.
“Proses penghukuman itu bukan proses menguji alat bukti yang faktual, tapi menguji kecerdasan. Warga tidak mampu cenderung lebih banyak terkena tindakan hukum karena kebodohannya,” tuturnya. Cenderung mudah terkena tindakan hukum juga karena ketakutan mereka yang menjadi faktor menentukan.
“Memang didasari kebodohan mereka. Kebodohan yang dimaksud, misalnya, mereka melarikan diri saat mau ditangkap dan menyembunyikan alat bukti. Padahal, tidak mesti terjadi seandainya mereka berani menunjukkan apa yang mereka perbuat itu benar,” tuturnya.
Dengan model tersebut, sebelumnya kedua belah pihak dan penyidik harus sama-sama bersepakat menghentikan penyidikan atau penuntutan. Penyelesaian perkara serba ringan di luar sidang pengadilan ini bisa ditempuh melalui kekeluargaan di level komunitas atau kedua pihak bersepakat dalam bentuk tertulis.
“Bukan berarti kita menoleransi perbuatan kejahatan mereka. Perlu ada tindakan, tapi tidak menghukum. Ada komitmen untuk tidak mengulangi. Ganti rugi bila diperlukan saja,” tandasnya.
Farouk berharap, aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa lebih cerdas menangani kasus-kasus hukum sepele yang dialami masyarakat kelas bawah. Sebab, keberhasilan hukum bukanlah dinilai dari kesuksesan untuk menjebloskan orang ke balik jeruji penjara.
“Kita melihat bahwa dalam penegakan hukum tersebut suatu keberhasilan hukum bukan dinilai dari kesuksesan kita untuk menjebloskan orang ke dalam penjara, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa melihat setiap masalah itu dari sudut pandang yang berbeda,” kata Farouk.
Dalam kasus Mbok Minah dan Kholil, misalnya, penegak hukum cenderung mementingkan pembuktian di persidangan. Mereka tidak memerhatikan latar belakang yang mendasari keduanya terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.
Sementara itu, Matteuw Zurstrassen (Justice for the Poor Bank Dunia) mengingatkan, kasus-kasus hukum skala kecil yang menimpa wong cilik sebenarnya bisa diselesaikan dengan peradilan nonnegara tanpa membawanya ke pengadilan. “Banyak kasus hukum di Indonesia bisa diselesaikan secara baik lewat peradilan nonnegara,” katanya.
Peradilan model ini dilakukan sejak lama di lingkungan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi penunjang untuk menyelesaikannya.
“Oleh karena itu, kasus-kasus kecil yang menimpa rakyat kecil sebaiknya diselesaikan di peradilan nonnegara,” katanya. Didukung kenyataan bahwa di negara kita masih banyak masyarakat yang bersikap gotong royong dan toleransi, sehingga yang bersengketa pun bisa didamaikan.
Hanya saja, sanksi kadang menjadi masalah, karena tidak ada kekuatan yang memaksa untuk menjalankan sanksi. “Biasanya orang yang mempunyai kekuasaan tidak mau menjalankan sanksi,” jelasnya.
Proses penegakan hukum disoroti bukan saja karena tidak adil tapi penegakkan hukum acapkali mengesampingkan hati nurani. Keadaan tersebut juga menjadi perhatian kepolisian. Ito tak menampik persepsi negatif masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum.
“Banyak penegak hukum di lapangan yang hanya melihat buku (UU, KUHP) sebagai pedoman. Tapi tidak menimbang rasa keadilan masyarakat,” katanya. Aparat kepolisian berada dalam posisi dilematis antara penegakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku atau menimbang rasa keadilan masyarakat. “Penegakan hukum harus memakai hati nurani.”
Ito menegaskan, institusinya berupaya melakukan pembenahan agar jajarannya dapat menyeimbangkan penggunaan norma hukum sembari menimbang realitas di lapangan. “Kami belum sempurna, tapi akan memberikan yang terbaik ke masyarakat,” tuturnya.
Patrialis mengungkapkan terobosan hukuman yang mungkin diterapkan bagi tindak kriminal kecil, yang disebutnya “kejahatan tak prinsipil” sehingga pelaku tak harus dijebloskan ke penjara. Alternatif sanksinya, pelaku melakukan kerja sosial.
“Sanksi tidak mesti penjara. Lakukan saja kerja sosial dengan penempatan di tempat-tempat tertentu,” katanya. Patrialis juga mengatakan perlunya rumusan sistem rekonsiliasi agar segala perbuatan tak harus diselesaikan di meja hijau. Ia memberi contoh, anak-anak di bawah umur sebaiknya tidak dipenjara.
“Apalagi, penjara kita itu sudah penuh. Keluar puluhan, yang masuk ratusan. Ini juga perlu kerjasama dan sinergi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim. Untuk tindakan pelanggaran yang tidak prinsipil, kalau sudah ditahan 15 hari, tuntutan jaksa juga 15 hari. Yang penting efek jeranya,” ujar Patrialis.
Akan tetapi, jika hakim memutuskan lain, menurutnya, Kementerian Hukum dan HAM tidak bisa mengambil langkah sendiri dengan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan. “Masyarakat harus ingat bahwa negara kita adalah negara hukum,” tukas mantan anggota Komisi III DPR ini.
Ditambahkannya, keberpihakan hukum terhadap orang tak mampu memerlukan penerapan model keadilan restoratif untuk kasus tertentu. Pengkajian model keadilan itu dituangkan dalam aturan hukum.
Keadilan restoratif ialah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana. Model penyelesaiannya melalui musyawarah antara pelaku dan korban.
Muladi berpendapat, penegakan hukum yang berpihak kepada orang tak mampu jangan berkonotasi diskriminasi kepada orang mampu. Kegagalan hukum berpihak kepada orang tak mampu akibat penyalahgunaan wewenang penegak hukum yang berlebihan.
“Penyalahgunaan penegakan hukum karena alasan tertentu merugikan pencari keadilan, terutama mereka yang tidak mampu,” kata Muladi. Ia mengatakan, bentuk penyalahgunaan wewenang secara langsung atau tidak langsung menjadi akar penyebab diskriminasi dan tirani.
Diskriminasi dan tirani terjadi karena kriminalisasi yang berlebihan dan langkah penegak hukum yang melanggar hak beperkara di pengadilan secara tidak proporsional dan profesional. “Kelompok rentan hukum tak sekadar tidak mampu finansial, tetapi juga mencakup anak-anak, kelompok manula, minoritas, wanita, masyarakat adat, dan suku terasing,” katanya.
 http://dpd.go.id/2010/02/warga-tak-mampu-rentan-penyalahgunaan-hukum/

0 komentar:

Posting Komentar

Masukkan komentar anda di sini!

SHARE