Search

Páginas

Pengertian Hukum

Hukum sering menjadi momok yang menakutkan bagi Masyarakat, bahkan jika sudah berbicara tentang hukum, maka sebagian orang akan mengatakan bahwa hukum itu selalu beat sebelah, tidak objektif, dan sebagainya. lalu agar kita tidak terlalu salah kaprah, maka apa sebenarnya hukum itu?
Secara garis besar, yang dimaksud hukum ialah segala peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam kehidupan bersama yang sewkatu-waktu dapat dipaksakan dengan memberikan suatu sanksi dalam pelaksanaannya.  dan pandangan para ahli hukum tentang defenisi hukum itupun berbeda-beda. ada yang konserpatif. ada yang biasa saja ada juga yang agak liberal. dan disini akan saya beberkan beberapa pengertian Hukum menurut para tokoh :
1. Menurut Tullius Cicerco (Romawi), beliau mengatakan bahwa Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
2. E. Utrecht. e. Utrecht mengatakan Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.

3. Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15)menyebutkan bahwa "Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan".
Dan masih banyak lagi pengertian Hukum yang diutarakan para Ahli yang belum kami sebutkan. nah, dari pengertian-pengertian Hukum yang dijelaskan oleh para ahli tersebut diatas. sepertinya hukum itu tidak menyeramkan. tetapi bisa menjadi penentram, dan penjaga masyarakat awam dari penyalahgunaan hukum itu sendiri. 

Problem HAM di Indonesia

Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Sosial Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura
Pergantian rezim yang otoritarian kepada rezim reformasi tidak membuahkan hasil memuaskan bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Keberadaan HAM di Indonesia masih sangat minim realisasinya di masyarakat. Undang-undang mengenai HAM hanya menjadi bacaan yang tidak diimplementasikan secara nyata sehingga tidak mengherankan bila sampai saat ini pelanggaran HAM masih sering mengisi ruang pemberitaan media. Apalagi sekarang kita dihadapkan dengan gejolak Papua yang hendak memisahkan diri dari Indonesia. Kekerasan yang terjadi antara aparat keamanan dan masyarakat, menyisakan tangis mendalam akan tegaknya HAM di Indonesia.
Sebenarnya kekuatan besar bagi tegaknya HAM terletak pada integritas hukum, semakin baik hukum suatu negara, maka akan semakin baik pula penegakan HAM. Begitu sebaliknya, bila hukum masih limbung dan tidak tegas dalam mengurusi pelanggaran yang terjadi, akan semakin subur pelanggaran terhadap HAM. Melihat integritas hukum Indonesia yang kian terpuruk, rasanya masih sulit berharap tidak ada pelanggaran HAM. Tetapi masih ada sisa-sisa cahaya benderang, jika masyarakat masih bertekad untuk menempatkan manusia secara setara, memberikan kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya.
Kenyataan mengenai masih seringnya pelanggaran HAM menyisakan banyak tanda tanya karena pergantian rezim Orde Baru ke rezim reformasi telah membuka sekat-sekat pembebasan dan kesetaraan setiap masyarakat di hadapan hukum dan negara. Namun, kenapa dengan kebebasan dan kesetaran itu, pelanggran HAM masih sering terjadi. Ada beberapa persoalan yang sebenarnya sangat berpengaruh sekali terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Seperti yang saya sebutkan di atas, pertama terkait dengan integritas hukum. Keterpurukan hukum yang ada di Indonesia telah memberikan ruang gerak pelanggaran HAM yang lebih besar. Karena sebenarnya kunci dari tegaknya HAM terletak pada integritas hukum.
Lawrence Meir Friedmann menyebutkan keterpurukan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture). Ketiga komponen ini yang juga mengahambat tegaknya HAM di Indonesia. Struktur yang dimaksud adalah bagian institusi yang mengurusi penegakan hukum di Indonesia, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sekarang para penegak hukum kita belum bisa bekerja secara maksimal sehingga memungkinkan pelanggaran yang semakin banyak. Apalagi hukuman yang ada tidak menjerakan.
Subtansi hukum, menyangkut hasil perundang-undangan yang terbentuk sebagai aturan hukum, yang kadang kala mengabaikan keadilan dan kebenaran karena bentuk hukumnya hanya mengacu kepada kitab undang-undang (law books), mestinya selain mengacu kepada kitab undang-undang harus mencakup pula pada hukum yang hidup (living law) sehingga putusan hakim benar-benar sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukannya.
Kultur hukum merupakan suasana realitas di masyarakat mengenai bagaimana hukum dihindari, digunakan, atau disalahgunakan. Artinya yang dimasud dengan kultur hukum, kebiasaan masyarakat yang kurang impelementatif terhadap aturan hukum sehingga masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran.
Selain penegakan hukum, problem HAM di Indonesia juka dipengaruhi situasi politik, sosial, dan ekonomi. Keberadaan lingkungan sangat berpengaruh sekali bagi perilaku seseorang. Begitu pula dalam pelanggaran HAM. Situasi politik yang semrawut kian memberikan ruang gerak kepada masyarakat melakukan tindakan kekerasan dan atau pemaksaan kepada orang lain atau pada lawan politiknya sehingga bisa memicu konflik yang bisa mengakibatkan pelanggaran HAM.
Situasi sosial masyarakat dapat pula mendorong terjadinya pelanggaran HAM, misalnya beberapa bulan lalu bentrok antarsuku di Papua. Akibat situasi sosial yang tidak kondusif mendorong seseorang melakukan perkelahian atau bahkan pembunuhan. Termasuk pula misalnya, terorisme, pelanggaran semacam ini sebenarnya berawal dari kondisi sosial yang tidak baik, kemudian dilarikan ke persoalan agama atau jihad.
Begitu pun kondisi ekonomi, sangat berpengaruh sekali bagi pelanggaran HAM. Maraknya perampokan, pencurian, trafficking, yang kadang berujung pada pembunuhan, erat kaitannya dengan impitan ekonomi masyarakat sehingga kriminalitas banyak terjadi.
Kunci penyesalan dari semua persoalan HAM di Indonesia dalam pandangan saya ada dua. Pertama, terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat Pancasila dengan realisasi kesejahteraan hidup masyarakat di semua bidang. Kedua, integritas hukum yang berkeadilan dan tanpa pandang bulu. Saya optimistis jika kedua kunci ini terpenuhi, tidak mungkin akan terjadi pelanggarah HAM di Indonesia.
 http://www.lampungpost.com/opini/19174-problem-ham-di-indonesia-.html

Warga Tak Mampu Rentan Penyalahgunaan Hukum

Kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan warga tak mampu menguak kelemahan mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Dalam banyak kasus yang melibatkan mereka, sistem peradilan pidana yang selama ini mendasari penyelesaian kasus pelanggaran hukum ternyata belum bisa memenuhi rasa keadilan.
Demikian kesimpulan seminar Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) “Membangun Politik Penegakan Hukum yang Mengakomodasi Keadilan Warga Tak Mampu”, Senin (1/2), di Gedung Nusantara V Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan—Jakarta. Diharapkan, acara melahirkan pemikiran yang sekaligus solusi krisis penegakan hukum bagi warga tak mampu yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Seminar menghadirkan pembicara utama Ketua Komite I DPD Farouk Muhammad. Pembicara lainnya adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Markas Besar (Mabes) Polri Inspektur Jenderal (Irjen) (Pol) Ito Sumardi Djunisanyoto, pakar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip) yang juga Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Benny Kabur Harman, hakim agung Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Patrialis Akbar. Acara dibuka Ketua DPD Irman Gusman.
Irman menegaskan pandangannya mengenai kelemahan mekanisme penegakan hukum di Indonesia tersebut. Mengakomodasi keadilan bagi warga tak mampu, diperlukan aturan hukum yang khusus memihak kepada warga tak mampu yang terlibat perkara. “Perbaikan hukum ditunjang legal formal yang berpihak pada warga tak mampu,” katanya.
Ditambahkannya, persoalan hukum sebaiknya tidak dipandang semata-mata terkait bidang hukum itu sendiri tapi juga bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Artinya, reformasi penegakan hukum harus berorientas kepada pembangunan di semua bidang. “Aturan yang dibuat di tingkat pusat dan daerah mestinya jangan hanya memberi perlindungan dan akses bagi para pelaku kelas kakap, melainkan juga mengakomodasi kepentingan warga tak mampu,” jelas Irman.
Dalam konteks reformasi sistem penegakan hukum, Farouk mendesak adanya fleksibilitas dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum, khususnya yang melibatkan warga tak mampu. Khusus bagi mereka, aparat penegak hukum tidak boleh bersandar hanya kepada sistem peradilan pidana sebagai mekanisme penyelesaian kasus hukum. Sebaliknya, aparat penegak hukum juga mempertimbangkan mekanisme penyelesaian perkara di luar sidang peradilan.
Aparat penegak hukum harus berani melakukan terobosan dalam kasus warga tak mampu. Mengacu kepada hasil penelitian Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian (PPITK), banyak kasus hukum pidana ringan yang berhasil diselesaikan secara informal.
Karenanya, Farouk menyarankan aparat penegak hukum mempertimbangkan mekanisme penyelesaian informal sebagai model dalam kasus hukum ringan yang melibatkan warga tak mampu. Apalagi, mekanisme penyelesaian informal lama dipraktikkan sebagai tradisi masyarakat di Indonesia.
Apalagi, penegakan hukum cenderung “pukul rata”. “Tanpa melihat berat-ringannya kejahatan, besar-kecilnya kerugian,” ujarnya. “Kecenderungan kita (penegak hukum) adalah bagaimana menjebloskan orang sebanyak-banyaknya ke penjara tanpa memerhatikan rasa keadilan.”
Ia mencontohkan. Masih hangat dalam ingatan kita sejumlah kasus ringan yang dilakukan warga tak mampu, tapi berujung vonis penjara, seperti kasus Nenek Minah dan Kholil yang heboh beberapa waktu lalu. Ternyata, warga tidak mampu cenderung lebih banyak terkena tindakan hukum karena kebodohannya.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara dalam penegakan hukum. Namun, bagaimana hukuman yang tepat bagi warga tak mampu yang melakukannya karena ketidakmampuan mereka?
Farouk mengusulkan model penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan untuk perkara-perkara ringan yang melibatkan warga tak mampu. Pasalnya, warga tak mampu seringkali melakukannya justru karena kebodohan mereka sendiri.
“Proses penghukuman itu bukan proses menguji alat bukti yang faktual, tapi menguji kecerdasan. Warga tidak mampu cenderung lebih banyak terkena tindakan hukum karena kebodohannya,” tuturnya. Cenderung mudah terkena tindakan hukum juga karena ketakutan mereka yang menjadi faktor menentukan.
“Memang didasari kebodohan mereka. Kebodohan yang dimaksud, misalnya, mereka melarikan diri saat mau ditangkap dan menyembunyikan alat bukti. Padahal, tidak mesti terjadi seandainya mereka berani menunjukkan apa yang mereka perbuat itu benar,” tuturnya.
Dengan model tersebut, sebelumnya kedua belah pihak dan penyidik harus sama-sama bersepakat menghentikan penyidikan atau penuntutan. Penyelesaian perkara serba ringan di luar sidang pengadilan ini bisa ditempuh melalui kekeluargaan di level komunitas atau kedua pihak bersepakat dalam bentuk tertulis.
“Bukan berarti kita menoleransi perbuatan kejahatan mereka. Perlu ada tindakan, tapi tidak menghukum. Ada komitmen untuk tidak mengulangi. Ganti rugi bila diperlukan saja,” tandasnya.
Farouk berharap, aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa lebih cerdas menangani kasus-kasus hukum sepele yang dialami masyarakat kelas bawah. Sebab, keberhasilan hukum bukanlah dinilai dari kesuksesan untuk menjebloskan orang ke balik jeruji penjara.
“Kita melihat bahwa dalam penegakan hukum tersebut suatu keberhasilan hukum bukan dinilai dari kesuksesan kita untuk menjebloskan orang ke dalam penjara, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa melihat setiap masalah itu dari sudut pandang yang berbeda,” kata Farouk.
Dalam kasus Mbok Minah dan Kholil, misalnya, penegak hukum cenderung mementingkan pembuktian di persidangan. Mereka tidak memerhatikan latar belakang yang mendasari keduanya terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.
Sementara itu, Matteuw Zurstrassen (Justice for the Poor Bank Dunia) mengingatkan, kasus-kasus hukum skala kecil yang menimpa wong cilik sebenarnya bisa diselesaikan dengan peradilan nonnegara tanpa membawanya ke pengadilan. “Banyak kasus hukum di Indonesia bisa diselesaikan secara baik lewat peradilan nonnegara,” katanya.
Peradilan model ini dilakukan sejak lama di lingkungan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi penunjang untuk menyelesaikannya.
“Oleh karena itu, kasus-kasus kecil yang menimpa rakyat kecil sebaiknya diselesaikan di peradilan nonnegara,” katanya. Didukung kenyataan bahwa di negara kita masih banyak masyarakat yang bersikap gotong royong dan toleransi, sehingga yang bersengketa pun bisa didamaikan.
Hanya saja, sanksi kadang menjadi masalah, karena tidak ada kekuatan yang memaksa untuk menjalankan sanksi. “Biasanya orang yang mempunyai kekuasaan tidak mau menjalankan sanksi,” jelasnya.
Proses penegakan hukum disoroti bukan saja karena tidak adil tapi penegakkan hukum acapkali mengesampingkan hati nurani. Keadaan tersebut juga menjadi perhatian kepolisian. Ito tak menampik persepsi negatif masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum.
“Banyak penegak hukum di lapangan yang hanya melihat buku (UU, KUHP) sebagai pedoman. Tapi tidak menimbang rasa keadilan masyarakat,” katanya. Aparat kepolisian berada dalam posisi dilematis antara penegakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku atau menimbang rasa keadilan masyarakat. “Penegakan hukum harus memakai hati nurani.”
Ito menegaskan, institusinya berupaya melakukan pembenahan agar jajarannya dapat menyeimbangkan penggunaan norma hukum sembari menimbang realitas di lapangan. “Kami belum sempurna, tapi akan memberikan yang terbaik ke masyarakat,” tuturnya.
Patrialis mengungkapkan terobosan hukuman yang mungkin diterapkan bagi tindak kriminal kecil, yang disebutnya “kejahatan tak prinsipil” sehingga pelaku tak harus dijebloskan ke penjara. Alternatif sanksinya, pelaku melakukan kerja sosial.
“Sanksi tidak mesti penjara. Lakukan saja kerja sosial dengan penempatan di tempat-tempat tertentu,” katanya. Patrialis juga mengatakan perlunya rumusan sistem rekonsiliasi agar segala perbuatan tak harus diselesaikan di meja hijau. Ia memberi contoh, anak-anak di bawah umur sebaiknya tidak dipenjara.
“Apalagi, penjara kita itu sudah penuh. Keluar puluhan, yang masuk ratusan. Ini juga perlu kerjasama dan sinergi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim. Untuk tindakan pelanggaran yang tidak prinsipil, kalau sudah ditahan 15 hari, tuntutan jaksa juga 15 hari. Yang penting efek jeranya,” ujar Patrialis.
Akan tetapi, jika hakim memutuskan lain, menurutnya, Kementerian Hukum dan HAM tidak bisa mengambil langkah sendiri dengan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan. “Masyarakat harus ingat bahwa negara kita adalah negara hukum,” tukas mantan anggota Komisi III DPR ini.
Ditambahkannya, keberpihakan hukum terhadap orang tak mampu memerlukan penerapan model keadilan restoratif untuk kasus tertentu. Pengkajian model keadilan itu dituangkan dalam aturan hukum.
Keadilan restoratif ialah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana. Model penyelesaiannya melalui musyawarah antara pelaku dan korban.
Muladi berpendapat, penegakan hukum yang berpihak kepada orang tak mampu jangan berkonotasi diskriminasi kepada orang mampu. Kegagalan hukum berpihak kepada orang tak mampu akibat penyalahgunaan wewenang penegak hukum yang berlebihan.
“Penyalahgunaan penegakan hukum karena alasan tertentu merugikan pencari keadilan, terutama mereka yang tidak mampu,” kata Muladi. Ia mengatakan, bentuk penyalahgunaan wewenang secara langsung atau tidak langsung menjadi akar penyebab diskriminasi dan tirani.
Diskriminasi dan tirani terjadi karena kriminalisasi yang berlebihan dan langkah penegak hukum yang melanggar hak beperkara di pengadilan secara tidak proporsional dan profesional. “Kelompok rentan hukum tak sekadar tidak mampu finansial, tetapi juga mencakup anak-anak, kelompok manula, minoritas, wanita, masyarakat adat, dan suku terasing,” katanya.
 http://dpd.go.id/2010/02/warga-tak-mampu-rentan-penyalahgunaan-hukum/

Perkembangan Teknologi bagi Kehidupan Manusia

  http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-teknologi-bagi-kehidupan-manusia-perkembangan-teknologi-bagi-kehidupan-manusia/

Perkembangan Teknologi Menurut Para Ahli
Nana Syaodih S. (1997: 67) menyatakan bahwa sebenarnya sejak dahulu teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Kalau manusia pada zaman dulu memecahkan kemiri dengan batu atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan teknologi, yaitu teknologi sederhana.
Terkait dengan teknologi, Anglin mendefinisikan teknologi sebagai penerapan ilmu-ilmu perilaku dan alam serta pengetahuan lain secara bersistem dan menyistem untuk memecahkan masalah. Ahli lain, Kast & Rosenweig menyatakan Technology is the art of utilizing scientific knowledge. Sedangkan Iskandar Alisyahbana (1980:1) merumuskan lebih jelas dan lengkap tentang definisi teknologi yaitu cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, panca indera, dan otak manusia.
Menurut Iskandar Alisyahbana (1980) Teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah “teknologi belum digunakan. Istilah “teknologi” berasal dari “techne “ atau cara dan “logos” atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan akal dan alat, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra dan otak manusia.
Sedangkan menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv) memberi arti teknologi sebagai” keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia.
  1. 2. Pengertian teknologi secara umum
  • proses yang meningkatkan nilai tambah
  • produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja
  • Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembamngkan dan digunakan
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.
Karena itu pada makalah ini kami membuat dampak-dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi dalam kehidupan manusia Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya teknologi. Artinya, bahwa teknologi merupakan keseluruhan cara yang secara rasional mengarah pada ciri efisiensi dalam setiap kegiatan manusia.
Perkembangan teknologi terjadi bila seseorang menggunakan alat dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya. Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat pakar teknologi dunia terhadap pengembangan teknologi.
Menurut B.J. Habiebie (1983: 14) ada delapan wahana transformasi yang menjadi prioritas pengembangan teknologi, terutama teknologi industri, yaitu 1) pesawat terbang, (2) maritim dan perkapalan, (3) alat transportasi, (4) elektronika dan komunikasi, (5) energi, (6) rekayasa , (7) alat-alat dan mesin-mesin pertanian, dan (8) pertahanan dan keamanan.
  1. 3. Dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet
Di bawah ini akan dijelaskan dampak-dampak positif maupun negatif dari penggunaan internet :
  • Dampak Positif
a) Internet sebagai media komunikasi merupakan fungsi internet yang paling banyak digunakan dimana setiap pengguna internet dapat berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia.
b) Media pertukaran data dengan menggunakan email, newsgroup, ftp dan www (world wide web – jaringan situs-situs web) para pengguna internet di seluruh dunia dapat saling bertukar informasi dengan cepat dan murah.
c) Media untuk mencari informasi atau data perkembangan internet yang pesat, menjadikan www sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.
d) Kemudahan memperoleh informasi yang ada di internet sehingga kita tahu apa saja yang terjadi.
e) Bisa digunakan sebagai lahan informasi untuk bidang pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.
f) Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan sehingga tidak perlu pergi menuju ke tempat penawaran/penjualan.
  • Dampak Negatif
a) Pornografi anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela.
b) Penipuan hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet pun tidak luput dari serangan penipu.
c) Bisa membuat seseorang kecanduan terutama yang menyangkut pornografi dan dapat menghabiskan uang karena hanya untuk melayani kecanduan tersebut. Jadi internet tergantung pada pemakainya bagaimana cara mereka dalam menggunakan teknologi itu, namun semestinya harus ada batasan-batasan dan norma-norma yang harus mereka pegang teguh walaupun bersentuhan dengan internet atau di dalam dunia maya.



  1. 4. Manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Teknologi Informasi dan Komunikasi yang perkembangannya begitu cepat secara tidak langsung mengharuskan manusia untuk menggunakannya dalam segala aktivitasnya Beberapa penerapan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi antara lain :
Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Perusahaan
  • Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi banyak digunakan para usahawan. Kebutuhan efisiensi waktu dan biaya menyebabkan setiap pelaku usaha merasa perlu menerapkan teknologi informasi dalam lingkungan kerja.

  • Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Bisnis
Dalam dunia bisnis Teknologi Informasi dan Komunikasi dimanfaatkan untuk perdagangan secara elektronik atau dikenal sebagai E-Commerce. E-Commerce adalah perdagangan menggunakan jaringan komunikasi internet.
  • Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Perbankan
    Dalam dunia perbankan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah diterapkannya transaksi perbankan lewat internet atau dikenal dengan Internet Banking.
  • Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan Teknologi pembelajaran terus mengalami perkembangan seirng perkembangan zaman. Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari Makalah Teknologi Informasi dan Komunikasi sering dijumpai kombinasi teknologi audio/data, video/data, audio/video, dan internet. Internet merupakan alat komunikasi yang murah dimana memungkinkan terjadinya interaksi antara dua orang atau lebih.
  • Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kesehatan
    Sistem berbasis kartu cerdas (smart card) dapat digunakan juru medis untuk mengetahui riwayat penyakit pasien yang datang ke rumah sakit karena dalam kartu tersebut para juru medis dapat mengetahui riwayat penyakit pasien.

Hubungan Cinta Kasih dengan Ilmu Budaya Dasar

Cinta dan Kasih adalah sesuatu yang sangat berkesan bagi semua manusia Makna cinta dan kasih yaitu sama semua menghasilkan makna yang tiada batas. Cinta adalah kekuatan manusia yang paling tinggi oleh karena itu semua orang memiliki cinta. Selain itu Cinta juga sumber kekuatan dari segalanya, kita tidak akan dapat mewujudkan setiap impian kita tanpa cinta karena cinta dapat memberikan dorongan dan motivasi terhadap diri seseorang.untuk menghasilkan sesuatu yang dinginnkan dapat tercapai dengan indah. Sedangkan kasih adalah perasaan sayang atau cinta kepada atau sangat menaruh belas kasihan. sehingga kata kasih memperkuat rasa cinta, Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan. Banyak orang memaknakan arti cinta itu kepada pasangannya dan sedangkan kasih itu diberikan kepada ibu,ayah, adik,kakak, nenek,kakek,teman,sahabat,saudara lainya bahkan kita bisa memberikan kasih kepada orang lain yang belum kita kenal sebelumnya. walah sejauh ini terlihat berbeda antara cinta dan kasih, tetapi makna yang sesungguhnya adalah sama-sama memiliki rasa sayang terhadap seseorang.

Sedangkan Pengertian Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan, pengertian tersebut adalah pengertian ilmu budaya dasar secara sederhana.
Hubungannya Cinta Kasih dengan Ilmu budaya Dasar ?
           Hubungan Cinta Kasih dengan Ilmu Budaya Dasar menurut saya ada,hubungannya berupa pendidikan sikap yang diajarkan dengan Ilmu Budaya Dasar untuk menghadapi permasalahan-permasalahan dengan penuh cinta dan kasih sayang seperti penjelasan mengenai cinta kasih.Bentuk wujud cinta kasih manusia kepada penciptanya adalah pengabdian, kesetiaan, ketaatan dan sebagaimana. Sebagaimana keterikatan manusia kepada tuhannya. Sedangkan wujud cinta kasih makhluk hidup kepada sesamanya terbagi atas tiga.Pertama cinta philiayakni seperti cinta kepada saudara, cinta kepada orang tua, cinta kepada teman, cinta kepada sesama. Yang kedua cinta eros yakni cinta yang menegakkan aspek ragawi (erotis).Yang ketiga cinta amor yakni cinta yang menekankan aspek psikologis dan emosi.Unsur cinta adalah keterikatan, keintiman dan kemesraan. Ketiganya menyatu dalam segitiga. Dan menjadi ketergantungan. Ketiga unsur cinta ini sama kuat. Namun jika ketiganya tidak sama-sama kuat akan mengakibatkan cinta yang hambar. Dan ada ketidak seimbangan antara yang satu dengan yang lainnya.Sedangkan cinta kasih manusia kepada alam atau lingkungannya terwujud dalam bentuk menjaga lingkungan, menciptakan keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan alam lingkungan sehingga dapat tercapai kehidupan yang aman dan tentram. Cinta kasih manusia kepada dirinya sendiri terwujud dalam bentuk menjaga dirinya sendiri unsur-unsur yang terdapat dalam cinta adalah simpati seperti kenal, tahu, pengertian, dan perhatian. dan emosi seperti pengorbanan, tanggung jawab, saling menghormati dan kasih sayang. Cinta kasih terjadi apabila perasaan simpati antara dua subjek saling mengisi dan melengkapi sehingga terjadilah dinamika cinta. Setiap makhluk hidup memerlukan cinta dan kasih. Karena cinta dan kasih merupakan keperluan fundamental setiap makhluk hidup. Tanpa kita sadari dalam diri manusia terdapat cinta kasih. Emosi ini terjadi antara kita dan orang lain bahkan dengan ketidak sengajaan. Bahkan emosi ini juga terjadi antara manusia satu kepada manusia lainnya yang belum kenal.
http://anggipay.blogspot.com/2011/04/hubungan-cinta-kasih-dengan-ilmu-budaya.html

Manusia dan Keadilan

Dalam hidupdan kehidupan, setiap manusia dalam melakukan aktifitasnya pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan sebaliknya, melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalui dibenturkan oleh permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang kesemuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis, menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita “manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal – hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana keadilan memiliki cirri antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hokum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dilakukan.
Kecurangan pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi moralitas.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecurangan antara lain ;
1.   Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan membahagiakan dirinya. Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai mahluk lemah, tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal pintas dalam merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain disekelilingnya.
2.   Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi dari sikapdan mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan” meski terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran moral saat ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada setiapindividu didalamnya sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan dan bahkan menegakan keadilan.
3.   Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah kebijakan bahkan keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita pun mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit sekali untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita sendiri harus bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai perasaan orang lain. Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang sangat sopan dan santun.
4.   dan lain sebagainya.
Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan dalam waktu bersamaan karena keduanya sangat bertolak belakang dan berseberangan.
http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/28/manusia-dan-keadilan/

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pola Berfikir Masyarakat Indonesia

Era globalisasi kini telah merambah masuk di semua sektor kehidupan bangsa Indonesia, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap budaya berfikir masyarakat indonesia. Saat ini pola berfikir masyarakat indonesia yang cenderung (tidak seluruhnya) telah banyak mengarah pada budaya-budaya barat yang notabane cenderung mencontoh pada perilaku yang negatif. Budaya tersebut tercermin dengan menjadikan budaya barat sebagai sebuah patron dari kemajuan peradaban berfikir manusia. Banyak saat ini generani muda yang meniru pola kehidupan barat, dengan berbagai gaya dan perilakunya yang negatif dalam kehiodupan sehari, atau saat ini dikenal dengan sebutan “anak gaul” dimanakan idedalisme kita saat globalisasi merambah masuk dalam sistem kehidupan kita, apakah ini bentuik dari memudarnya pola berfikir generasi muda sebagai penerus bangsa.

Era globalisasi memang tidak bisa di justification selalu membawa dampak yang negatif bagi kita, namun dalam hal ini menurut saya eksistensi dari globalisasi tersebut lebih dominan kearah negatif, banayk contoh kasus yang dapat kita temukan, yaitu : maraknya seks bebas dikalangan remaja, yang saat ini dianggap bukan hal yang tabu lagi, perkembangan poirnografi yang dengan kemajuan teknologi yang canggih banyak dikonsumsi oleh anak dibawah umur dengan bebas dan mudah, tingkat peggunaan obat-obat terlarang yang sanagt memperhatikan. Kita sebagai negara dunia ketiga dijadika objek pasar dari penjualan obet terlarang internasional.

Oleh karena itulah kita perlu membangun kembali pondasi pola berfikir kita, sebagai pengemban tugas berat penerus cita-cita bangsa yang beradab sesuai dengan perilaku kita sebagai orang timur. Langkah awal yang harus dilakukan menurut saya adalah coba kita gali terlebih dahulu npotensi-potensi yang terdapat pada banga kita, masih banyak potensi yang belum kita gali, yang sebenarnya hal tersebut sanagt berpengaruh bagi kita untuk tetap menjaga dan melestarikan eksistensi kultur sosial budaya bangsa indonesia, jangan jadikan budaya barat(dalam hal ini masuk melalui era globalisasi) sebagai patron pola berfikir, karena dari pola berfikir inilah nantinya perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari secara akan tidak akan terpengaruh dengan pola kehidupan budaya barat yang bebas. Tunjukkan bahwa kita sebagi bangsa yang besar dengan keanekaragaman kultur sosial budaya mampu bersaing dengan mereka, dengan menerapkan pola fikir kritis.

http://pojok-waroengkopi.blogspot.com/2008/05/pengaruh-globalisasi-terhadap-pola.html

Posisi Pendidikan Indonesia saat ini

(sumber: Koran Kompas)
Mengetahui posisi Indonesia di dunia mungkin tidak harus membandingkannya dengan negara-negara yang secara geografis letaknya jauh seperti Eropa, Amerika, Asia. Cukup dengan melihat posisinya di antara sesama negara Asia Tenggara. Hasil indeks pembangunan pendidikan terakhir ternyata menunjukkan adanya pergeseran posisi Indonesia dan Malaysia. Jika pada tahun- tahun sebelumnya peringkat Indonesia selalu berada di atas Malaysia, kali ini terjadi perbedaan hasil. Dalam laporan yang dipublikasikan November lalu itu, posisi Malaysia melonjak enam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56.

Sebaliknya, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga turun 0,003 poin, dari 0,938 menjadi 0,935. Sementara itu, Malaysia berhasil meraih total nilai 0,945, atau naik 0,011 poin dari tahun sebelumnya. Dalam penghitungan kali ini, Malaysia berhasil menaikkan poin pada tiga komponen penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, dan angka partisipasi menurut kesetaraan jender. Adapun kategori angka bertahan kelas 5 SD memperoleh nilai sama dengan tahun sebelumnya. Indonesia hanya berhasil menaikkan poin pada angka bertahan kelas 5 SD sebesar 0,004 poin. Adapun pada kategori lain, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar dan angka partisipasi menurut kesetaraan jender, poinnya justru turun sebesar 0,007 poin. Sedangkan angka melek huruf berhasil mempertahankan skor yang sama dengan tahun sebelumnya. Sistem penilaian EDI juga membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 ke atas), sedang (0,800 sampai di bawah 0,950), dan rendah (di bawah 0,800). Pada pembagian ini tercatat enam negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, berada di kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Brunei Darussalam yang baru tahun ini masuk dalam penilaian berada di kelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan tinggi.

Negara Asia Tenggara lain, yaitu Laos, hingga saat ini masih termasuk dalam kelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan rendah. Khusus untuk Singapura dan Thailand tidak tercatat dalam penilaian sehingga tidak dapat dibandingkan. Satu hal yang patut dicatat, tahun ini Malaysia berhasil meraih poin 0,945, atau hanya butuh 0,005 poin lagi untuk masuk ke kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia sedikitnya membutuhkan 0,015 poin lagi untuk masuk dalam kategori EDI tinggi. Itu pun jika tahun depan tidak lagi terjadi penurunan seperti tahun ini. Jika mengamati perolehan total skor indeks pendidikan selama empat tahun, yaitu antara tahun 2001 dan 2005, terlihat hanya Myanmar dan Kamboja yang menunjukkan peningkatan setiap tahun. Bahkan, pada tahun 2005 terjadi lompatan posisi Kamboja dengan berhasil masuk ke kelompok EDI medium (sedang) dari tahun-tahun sebelumnya di kelompok negara ber-EDI rendah. Seperti juga Malaysia, pada tahun tersebut hampir semua nilai komponen dalam indeks pendidikan Kamboja meningkat. Hanya angka melek huruf yang stagnan, sama dengan tahun sebelumnya.

Kenaikan poin setiap tahun sebenarnya terjadi juga pada Malaysia, khususnya periode 2002-2005. Untuk tahun 2001, Malaysia belum tercatat dalam pengukuran indeks pembangunan pendidikan dunia. Mengenai posisi Indonesia di EFA kali ini, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, penurunan peringkat pencapaian EFA di UNESCO itu tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia sudah mulai diakui negara lain. “Media massa jangan mencari yang jelek-jelek saja dalam pencapaian reformasi pendidikan di Indonesia. Secara kualitas, pendidikan Indonesia sudah mengalami lompatan yang luar biasa. Meskipun masih masuk kategori yang perekonomiannya menengah, Indonesia memberanikan diri mengikuti program penilaian PISA atau Programme for International Assessement. Setidaknya Indonesia berani ikut penilaian dengan 30 negara industri maju,” kata Bambang.

Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi UNESCO terhadap pencapaian EFA 2015, tanggal 11-13 Desember lalu diadakan pertemuan evaluasi pertengahan pencapaian EFA. Pertemuan dihadiri pemimpin negara, lembaga donor, dan lembaga internasional lainnya. Evaluasi ini menolong negara yang berkomitmen mewujudkan pencapaian EFA sehingga masing-masing negara menjadi tahu bagaimana posisinya dalam pencapaian pendidikan dasar, yang umumnya masih jauh dari target EFA 2015. Kelemahan pencapaian umumnya terlihat di pencapaian pendidikan dasar dan pendanaan. Dalam peningkatan kualitas pendidikan, ada tiga kebijakan yang ditekankan. Pertama, negara-negara harus mengembangkan kebijakan untuk melatih dan merekrut sebanyak-banyaknya guru SD dengan memerhatikan perkembangan karier mereka. Kedua, melakukan pendekatan komprehensif dengan berfokus pada kurikulum, pedagogi, persamaan jender, bahasa pengantar, buku teks, dan fasilitas yang layak. Ketiga, adanya kebijakan untuk menyiapkan anak-anak siap belajar, caranya dengan meningkatkan partisipasi pendidikan anak usia dini serta akses kesehatan dan gizi di sekolah. (Sumber : www.kompas.com)
Quote this article in website Favourit Print Related articles

(Permasalahan Pendidikan di Indonesia)
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, tidak terhindarkan dipengaruhi oleh segala dinamika yang terjadi secara internasional. Dalam rangka mengimbangi dinamika global tersebut, menjaga eksistensi, apalagi untuk memenangkan persaingan dalam tingkat global, maka daya saing nasional yang tinggi mutlak diperlukan. Faktor utama daya saing yang sangat penting adalah SDM (Sumber Daya Manusia). Fakta yang ada, misalnya mengacu pada Human Development Report 2003 yang diterbitkan PPB, terlihat bahwa Indonesia ditempatkan pada peringkat di bawah negara-negara seperti Malaysia, Philipina, Thailand, dan bahkan Vietnam. Peringkat SDM Indonesia sedikit di atas negara seperti Kamboja. Kemudian kalau kita lihat dalam konteks nasional, baik dalam pembangunan bidang ekonomi, teknologi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, serta infra dan suprastruktur negara, maka masih terasakan bahwa kita kekurangan SDM yang handal. Mengamati fenomena kekerasan di dalam masyarakat (baik yang dilakukan oleh pelajar, masyarakat, maupun aparat pemerintah sipil dan militer), praktek KKN baik dalam lembaga masyarakat, politik, maupun pemerintahan, fenomena pembodohan masyarakat dan pornografi baik dalam media cetak, iklan, maupun media elektronik, serta permasalahan narkoba dan banyaknya anggota masyarakat yang terjangkit HIV (AIDS), maka diyakini bahwa masyarakat kita masih perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas pendidikannya. Artinya tingkat pendidikan masyarakat kita masih jauh dari kemapanan.

Untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang besar itu, sudah barang tentu pemerintah menghadapi berbagai kendalam keterbatasan sumber daya, baik supra struktur, infrastruktur maupun pendanaan. Ditambah lagi dengan era desentralisasi dan otonomi daerah yang pelaksanaannya belum mantab, maka pola kerja pusat dan daerah dalam hal pendidikan masih harus ditingkatkan. Karenanya dalam era yang lebih menekankan desentralisasi, maka peran dan dukungan masyarakat menjadi sangat penting dan sentral. Untuk itulah konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat digulirkan pemerintah.

 http://kabidsekmen.blogspot.com/2009/02/bagaimana-posisi-pendidikan-indonesia.html

Stratifikasi sosial

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Pengertian
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
statifikasi sosial menurut max weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.

Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Ukuran kekuasaan dan wewenang

Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
 http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial#Dasar-dasar_pembentukan_pelapisan_sosial

Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal Oleh Dadang Respati Puguh

Pengertian dan Karakteristik. Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga filosof kontemporer dari Malaysia (“Masyarakat Madani…”), serta pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim.
Anwar Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis. Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008).
Komaruddin Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia, istilah “masyarakat madani” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya, yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008).
Sementara itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008).
Karakteristik. Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai berikut.
1.   Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
 2.   Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
 3.   Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
 4. Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan maupun  dalam masyarakat lain. Sikap itu dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga Ahimsa-Putra, 2009: 2-4).
 5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial
Karakteristik ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…);  “Masyarakat Madani…”).
Signifikansi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka (“Memberdayakan Kearifan Lokal…”). Bertolak dari definisi itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah[3]) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5).
Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu:  bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas,  terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109).
Apa arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas, cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system), dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1.    Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata pencaharian, dan integrasi sosial.
2.   Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa, dan tepa salira.
3.    Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain.
4.    Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial.
5.    Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan kehidupan (Sedyawati, 2008: 280).
Upaya-upaya Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal
Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah.
Pencapaian visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa “masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermoral, beretika, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.
Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai oleh masyarakatnya, namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383). Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait.
Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal:
1.   Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal
Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui  pengkajian terhadap cerita rakyat dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap-sikap antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat; nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji; nilai kepemimpinan  yang peduli pada daerah dan rakyatnya; nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan, nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat.  
2.   Pengetahuan Budaya Lokal  sebagai Muatan Lokal
Sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di daerah. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural system) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional (Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani.
3.   Forum Komunikasi Pemikiran Budaya
Pemerintah daerah tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat dilakukan  oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang berkembang di masyarakat,  seperti budaya (lokal) yang menghambat terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7).
4.   Festival Budaya Lokal
Unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.
Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat. Kesadaran dan ketahanan kultural  menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani yang berbasis kearifan lokal.     
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat madani berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum.
 http://www.babinrohis-nakertrans.org/artikel-islam/membangun-masyarakat-madani-berbasis-kearifan-lokal-oleh-dadang-respati-puguh

SHARE